--- Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil ---
Tidak diperkenankan kalian makan sebagian harta yang lain. Di dalam ungkapan ayat ini digunakan kata harta kalian, hal ini merupakan peringatan bahwa umat itu satu di dalam menjalin kerja sama. Juga sebagai peringatan, bahwa menghormati harta orang lain berarti menghormati harta sendiri. Sewenang-wenang terhadap harta orang lain, berarti melakukan kejahatan kepada seluruh umat, karena salah seorang yang diperas merupakan salah satu anggota umat. Dan ia tentu akan terkena akibat negative larangan seseorang yang memakan harta orang lain berarti memberikan dorongan kepada orang lain untuk berbuat hal yang serupa, dan terkadang menimpa dirinya jika keadaannya memang demikian, sehingga menjadi boomerang bagi dirinya.
Kesimpulan dari ayat diatas adalah Seseorang tidak dibolehkan mencari penghidupan dengan cara-cara yang dilarang oleh syari’at, karena hal ini akan merugikan dan membahayakan orang lain. Dan seharusnya mencari penghidupan itu dengan yang dihalalkan oleh syari’at, sehingga tidak akan merugikan orang lain.
--- Dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim ---
Janganlah kalian memberikan harta kepada hakim sebagai risywah (suap) kepada mereka.atau Janganlah kalian membawa urusan harta pada hakim karena kalian tau dia akan memutuskan dengan menggunakan hukum selain hukum Allah,
--- Supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui ---
Untuk mengambil harta orang lain dengan cara sumpah bohong atau kesaksian palsu dan lain-lainnya yang dipakai sebagai cara kalian untuk membuktikan kebenaran, atau karena kalian tau hukum yang diterapkan adalah hukum "positif" buatan manusia bukan berdasar hukum Allah dan tidak sesuai dengan sunnah Rasul, padahal hatimu mengakui bahwa kamu berbuat salah dan berdosa. Meminta bantuan kepada hakim di dalam rangka memakan harta orang lain dengan cara batil adalah haram. Padahal hakekatnya, keputusan hakim itu sama sekali tidak bisa merubah kebenaran yang ada dalam hukum Allah, sekalipun hanya didalam hati hakim itu sendiri, dan bukan berarti hakim telah menghalalkan untuk pihak yang menyogok. Fungsi hakim hanya melaksanakan keputusan secara lahiriyah, tetapi pada hakekatnya ia bukan seorang yang berhak menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Di sinilah akan berakibat banyaknya bagian harta yang syubhat dan haram. yang ujung-ujungnya urusan harta itu mengakibatkan masuk ke dalam neraka yang menyala-nyala, nauzdu billah.
Asal mula peristiwa ini adalah hadits Ummi Salamah yang diceritakan oleh Imam Malik, Imam Bukhari dan Muslim serta yang lainnya yang mempunyai kitab sunnah. Hadits tersebut mengatakan bahwa Nabi SAW. mengatakan kepada dua orang yang bersengketa yang melapor kepada beliau, Nabi kemudian bersabda kepada mereka:
“Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian; dan kalian melaporkan sesuatu kepada saya. Ada satu kemungkinan bahwa seorang diantara kalian mahir didalam memberi hujjah dari yang lain, sehingga membuat saya menghukumi sesuai dengan keterangan yang saya dengar, Barangsiapa yang telah kuputuskan mengenai hak saudaranya, dan ternyata ia mengambil sebagian dari haknya (orang lain), berarti saya telah memberikan kepadanya sepotong api neraka.”
Perhatikan hadits di atas, hadits itu menerangkan tentang 2 orang yang membawa perkara harta kepada Nabi SAW. Lihatlah... yang menjadi hakim itu adalah Nabi sendiri, yaitu manusia yang paling adil dan jujur, dan juga hukum yang beliau gunakan adalah hukum Allah yang merupakan hukum yang paling adil dan benar. Namun keputusan Nabi itupun masih mengandung peluang "kesalahan" dan ketidakadilan yang akan mengakibatkan penerima hukum masuk neraka, bagaimana lagi bila hakimnya adalah manusia biasa dan hukum yang digunakanpun bukan murni hukum Allah, tapi hukum positif buatan manusia ataupun hasil ijtihad para fukaha'. ..?
Karena itulah, kaum beriman dianjurkan menyelesaikan perkara harta itu dengan jalan yang lebih aman dan menentramkan yaitu musyawarah secara kekeluargaan. sebagaimana perintah Allah di surat at-Thalaq dan surat an Nisaa'. karena dengan cara seperti ini akan lebih mendekatkan kepada perasaan "saling rela" / taraadlin di antara para pihak yang berperkara, dan lebih menjegah terselipnya harta syubhat dan haram. dan lebih menentramkan, lebih barakah, dan jauh dari akibat buruk sengketa, yaitu dendam, permusuhan ataupun perang yang tak berkesudahan. Naudzu billah.
Komentar
Posting Komentar